Di sebuah kawasan perbukitan dan pegunungan, berdirilah sebuah perkampungan bernama Kampung Cimeong. Pada awalnya, kampung ini dihuni oleh 28 kepala keluarga yang hidup secara sederhana. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani, berdagang, serta beternak kerbau dan kambing. Peradaban masyarakat pada masa itu masih primitif, dengan rumah panggung beratapkan alang-alang. Pendidikan tidak dikenal karena pada masa itu Indonesia masih berada di bawah kekuasaan Belanda, yang melarang rakyat pribumi untuk bersekolah.
Pada tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda, melalui Bupati setempat, memutuskan untuk meresmikan kampung tersebut menjadi sebuah desa. Untuk menyambut Bupati yang akan datang dari Sungai Cisanggarung, masyarakat mengutus seorang tokoh sakti bernama Braja Sa'at yang menjemputnya dengan menunggang kuda. Ketika rombongan Bupati hendak menyeberangi sungai, tiba-tiba terjadi banjir besar. Dengan ilmu kesaktiannya, Braja Mukti berhasil meredakan banjir seketika sehingga perjalanan Bupati bisa dilanjutkan. Prosesi pengesahan desa dilakukan di atas Batu Meong Dengan Nama Desa CIMEONG, dan pemimpin pertama yang diangkat sebagai Kuwu (Kepala Desa) adalah Yuda Kerti/Yuda Kerta. Karena tidak bisa menulis, ia menandatangani pengesahan desa dengan membubuhkan cap jempol.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk, Kuwu memerintahkan pembukaan lokasi permukiman baru di tanah utara Sungai Cigolo, yang sekarang menjadi lokasi SDN Cilayung. Namun, masyarakat mengalami berbagai kendala di lokasi baru, seperti wabah penyakit yang menelan banyak korban serta seringnya terjadi kebakaran. Kuwu pun berupaya mencari lokasi yang lebih aman dan pergi ke Cadas Ngampar untuk meminta petunjuk kepada Kiyai Cadas Ngampar. Berdasarkan petunjuk tersebut, diputuskan bahwa lokasi pemukiman yang baru berada di sebelah selatan Sungai Cigolo, yang kini menjadi Desa Cilayung. Di tempat baru ini, masyarakat mulai membangun infrastruktur desa, termasuk balai desa dan tempat ibadah, yang saat itu masih beratapkan alang-alang. Mata pencaharian utama penduduk tetap bertani
Legenda Desa
Pada tahun 1921 hingga 1945, Desa Cilayung mengalami peleburan dan direndahkan statusnya menjadi bagian dari Desa Citikur selama 24 tahun. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi masyarakat, terutama dalam administrasi dan komunikasi karena jarak yang jauh dari pusat pemerintahan desa. Selain itu, masyarakat merasa terbebani oleh perintah dari Kuwu Citikur.
Tokoh-tokoh masyarakat Cilayung kemudian mengajukan permohonan kepada Wedana Luragung untuk mengembalikan status Cilayung sebagai desa mandiri. Para tokoh yang memperjuangkan pemekaran kembali desa adalah:
-
Bapak Soma Sastra Atmaja
-
Bapak Merta Atmaja
-
Bapak Winata
-
Bapak Wariasasmita
-
Bapak Asma Timu
-
Bapak Nata Atmaja
Berkat perjuangan mereka, pada tahun 1945 Cilayung kembali menjadi desa yang berdiri sendiri.
Nama – nama Kepala Desa Cilayung
Berikut adalah daftar Kuwu atau Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Cilayung :


